Jumat, 13 Januari 2012

Kualitas Pelayanan


Konsep kualitas pelayanan telah menjadi satu tahap universal dan menjadi faktor dominan terhadap keberhasilan suatu organisasi. Pengembangan kualitas sangat didorong oleh kondisi persaingan antar perusahaan, kemajuan teknologi, tahapan perekonomian dan sosial budaya masyarakat sebenarnya tidak mudah mendefinisikan kualitas yang tepat.
Kualitas menurut Fandy Tjiptono (2000:51) bahwa “Suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”. Kualitas dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.
Menurut Tjiptono kualitas pelayanan adalah “tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”. (Tjiptono, 2006:59). Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan yaitu “Pelayanan yang diharapkan (expected experience) dan pelayanan yang didapatkan (provide service), maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal begitu juga sebaliknya“ (1996:59). Dengan demikian baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia layanan dalam memenuhi harapan pelangggan.
Pengertian kualitas menurut Kotler (1997:49) adalah “keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh paada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat”. Kemudian menurut Gasperz dalam Lukman Sampara menyatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu pada pengertian pokok yaitu :
“Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk yang memenuhi pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan“.
(Samparna, 1999:7)

Dari kedua pengetian diatas kualitas berarti kesempurnaan atribut suatu produk (barang atau jasa) tertentu, sesuai dengan yang dikehendaki pengguna jasa. Sedangkan Gasperz (1997:4), mendefinisikan kualitas dengan terlebih dahulu membedakannya dalam pengertian konvensional dan non konvensional, sebagai berikut :
“Kualitas secara konvensional adalah biasanya menggambarkan karateristik langsung dari suatu produk seperti perfomansi, keandalan, mudah dalam penggunaan dan sebagainya. Sedangkan definisi kualitas secara non konvensional adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan”.

Penilaian kualitas pelayanan ditentukan oleh pengguna jasa layanan tersebut, pengguna jasa akan menilai dengan membandingkan pelayanan yang akan mereka terima dengan yang mereka harapkan. Pemberian layanan dapat mencapai reptasi yang tinggi dalam kualitas pelayanan hanya jika kualitas pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan pengguna. Untuk itu kualitas pelayanan dapat ditentukan melalui suatu usaha agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapa-harapan pengguna jasa. Pengertian kualitas pelayanan menurut Agus Dwiyanto (1995:6), bahwa kualitas pelayanan adalah “kemampuan organisasi pelayanan publik untuk memberikan pelayanan yang dapat memuaskan para pengguna jasa baik melalui pelayanan teknis maupun pelayanan administrasi”.
Dengan pelayanan kualitas inilah suatu perusahaan dapat senantiasa diminati oleh pelanggan. Perusahaan yang selalu dapat menjaga kualitas pelayanannya dengan konsisten tidak akan kalah bersaing walaupun bergerak di bidang yang sama. Dampaknya tentu akan menguntungkan perusahaan karena para pelanggan akan terus berinteraksi dengan perusahaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Mursid (1997:25) yang mengemukakan bahwa :
“Salah satu cara utama untuk menempatkan sebuah perusahaan jasa lebih unggul dari perusahaan pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang lebih berkualitas daripada pesaingnya. Kuncinya adalah memenuhi atau melebihi pengharapan sasaran mengenai kualitas tadi”.

Dari beberapa pengertian kualitas pelayanan, dapat dilihat bahwa kualitas pelayanan dimulai dari kebutuhan pengguna jasa dan berakhir pada persepsi pengguna jasa, maka kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa atau yang memberikan pelayanan dalam memenuhi harapan pengguna jasa secara konsisten.
Ada beberapa dimensi atau faktor yang digunakan konsumen atau pengguna jasa dalam menentukan kualitas pelayanan, menurut Zeithamal, Berry dan Parasuraman yang dikutip oleh Fandy Tjiptono menyatakan bahwa ada lima dimensi pokok yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu :
1.    Bukti langsung (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan pegawai dan sarana komunikasi. Tangibles banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa dalam rangka untuk meningkatkan imagenya, memberikan kelancaran kualitas kepada para pelanggannya.
2.    Keandalan (Reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Dalam pengertian yang lebih luas reliability dapat diartikan bahwa perusahaan menyampaikan janji-janjinya mengenai penyampaian jasa, prosedur pelayanan, pemecahan masalah dan penentuan harga. Para pelanggan biasanya ingin sekali melakukan kerja sama dengan perusahaan yang bisa memenuhi janji-janjinya terutama mengenai sesuatu yang berhubungan dengan jasa.
3.    Daya Tanggap ( responsiveness ), yaitu keinginan para staff untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang tanggap. Dimensi ini menekankan pada perhatian penuh dan kecepatan dalam  melakukan hubungan dengan para pelanggan baik itu permintaan,pertanyaan,keluhan dan masalah-masalah.
4.    Jaminan (Assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Merupakan dimensi terpenting dari suatu pelayanan dimana para pelanggan harus bebas dari bahaya resiko yang tinggi atau bebas dari keragu-raguan dan ketidakpastian.
5.    Empati (Empathy), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan. Hal terpenting dari empati dalah cara penyampaian baik secara personal maupun biasa. Para pelanggan dianggap sebagai orang yang penting dan khusus.
(Tjiptono,2005:14)
           
Kelima dimensi diatas dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya dalam    memberikan pelayanan untuk menciptakan kualitas pelayanan yang baik. Grontoss pun mencoba merumuskan dimensi atau faktor yang dapat digunakan oleh konsumen atau pelanggan untuk menilai efektivitas atau mutu pelayanan. Seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dalam bukunya Manajemen Jasa, yang menyatakan bahwa terdapat enam unsur, yaitu:
a.    Keahlian dan Kemampuan (Profesionalism And Skill)
     Pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan system operasional, dan sumber daya fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara potensial.
b.    Sikap Dan Tingkah Laku (Attitudes And Behavior)
     Pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati.
c.    Kemudahan Hubungan dan Keluwesan (Accessibility And Trustworthiness)
     Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud agar dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.
d.   Keandalan dan Dapat Dipercaya (Reliability And Trustworthiness)
     Pelanggan memahami apapun yang terjadi sesuatu, mereka bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya.
e.    Pemulihan (Recovery)
     Pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi kesalahan atau bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat.
f.     Reputasi Dan Kepercayaan (Reputation And Credibility)
     Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya.
     (Tjiptono, 1996:73)

Senin, 09 Januari 2012

Pengertian PRODUKTIVITAS, EFEKTIVITAS, EFISIENSI, dan KINERJA


PRODUKTIVITAS
Menurut Dewan Produktivitas Nasional : sikap mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini (harus) lebih baik dari hari kemarin, dan esok hari lebih baik dari hari ini. (Harbani Pasolong, Kepemimpinan Birokrasi, 2010, hal: 203)

Produktivitas merupakan keinginan (the will) dan upaya (effort) manusia untuk selalu meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan di segala bidang. (Sedarmayanti, Tata Kerja dan Produktivitas Kerja, 1996, hal 142)

Produktivitas menurut Greeberg : perbandingan antara totalitas pengeluaran pada waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tertentu. (Prof. Dari. Tjotjo Yuniarsih, Manajemen Sumber Daya Manusia, 2009, hal 157)

Produktivitas Kerja menunjukan tingkat kemampuan pegawai dalam mencapai hasil (output), terutama dilihat dari sisi kuantitasnya. (Prof. Dari. Tjotjo Yuniarsih, Manajemen Sumber Daya Manusia, 2009, hal 156)

Produktivitas kinerja menurut Nawawi (1998) : merupakan perbandingan antara hasil yang diperoleh (output) dengan jumlah sumber daya yang dipergunakan sebagai masukan. (Prof. Dari. Tjotjo Yuniarsih, Manajemen Sumber Daya Manusia, 2009, hal 157)

Produktivitas kinerja menurut Anoraja (1992) : tingkat efisiensi proses menghasilkan dari sumber daya yang digunakan, yang berkualitas lebih baik dengan usaha yang sama. (Prof. Dari. Tjotjo Yuniarsih, Manajemen Sumber Daya Manusia, 2009, hal 157)

Produktivitas tenaga kerja menurut Ndraha : perbandingan antara output (O, misalnya laba kotor) dengan input (I, misalnya gaji), persatuan waktu. (Harbani Pasolong, Kepemimpinan Birokrasi, 2010, hal 203)

EFEKTIVITAS
Efektivitas adalah yang berhubungan dengan tujuan organisasi baik secara eksplisit maupun implisit. (Drs. Ulbert Silalahi, M.A, Studi Tentang Ilmu Administrasi, 2007, hal 128)

Efektivitas menurut H. Emerson : pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. (Drs. Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1990, hal 15)

Efektivitas adalah tingkat dimana organisasi dapat merealisasikan tujuan-tujuannya atau dengan kata lain pengukuran efektivitas dapat dilakukan dengan melihat sejauh mana organisasi mampu mencapai tingkat yang diinginkan. (Riki Satia Muharam, Administrasi Negara (Catatan Kuliah), 2005, hal 158)

EFISIENSI
Efisiensi adalah berhubungan dengan rasio output dengan input atau keuntungan biaya.
(Drs. Ulbert Silalahi, M.A, Studi Tentang Ilmu Administrasi, 2007, hal 128)

Efisiensi menurut H. Emerson : perbandingan yang terbaik antara input dan output, antara keuntungan dengan biaya, antara hasil pelaksanaan dengan sember-sumber yang digunakan dalam pelaksanaan, seperti halnya juga maksimum yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan dengan apa yang harus diselesaikan. (Drs. Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1990, hal 15)

Efisiensi adalah tingkat perbandingan antara masukan (input)  dengan hasil (output) yang dicerminkan dalam rasio atau perbandingan diantara keduanya. Jika output lebih besar dari input maka dapat dikatakan efisien dan sebaliknya jika input lebih besar dari output maka dikatakan tidak efisien. Jadi tinggi rendahnya efisien ditentukan oleh besar kecilnya rasio yang dihasilkan. (Riki Satia Muharam, Administrasi Negara (Catatan Kuliah), 2005, hal 158)

Efisiensi kerja merupakan pelaksanaan cara tertentu dengan tanpa mengurangi tujuannya merupakan cara yang:
1.      termudah dalam melaksanakannya
2.      termurah dalam biayanya
3.      tersingkat dalam waktunya
4.      teringan dalam bebannya
5.      terendah dalam jaraknya. (Sedarmayanti, Tata Kerja dan Produktivitas Kerja, 1996, hal 130)

KINERJA
Kinerja menurut Stoner (1978) : fungsi dari motivasi, kecakapan, dan persepsi peranan. (Drs. H. Moh. Pabundu Tika, M.M, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, 2006, hal. 121)

Kinerja menurut Bernardin dan Russel (1993) : Pencatatan hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. (Drs. H. Moh. Pabundu Tika, M.M, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, 2006, hal. 121)

Kinerja menurut Handoko : proses dimana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. (Drs. H. Moh. Pabundu Tika, M.M, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, 2006, hal. 121)

Kinerja menurut Prawiro Suntoro (1999) : hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelempok orang  dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. (Drs. H. Moh. Pabundu Tika, M.M, Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan, 2006, hal. 121)

Desentralisasi, Dekonsentralisasi, dan Tugas Pembantuan



Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus urusan yang ada di daerah.
Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi yang lama dari pusat ke daerah, tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural menuju arah yang lebih demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi diharapkan akan meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi.
Pelaksanaan desentralisasi dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah didanai dari APBD. Dalam urusan pemerintahannya diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada aparat pemerintah pusat yang ada di daerah untuk melaksanakan tugas pemerintah pusat di daerah. dengan kata lain, dekonsentrasi adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.
Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dekonsentrasi didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Menurut Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Jadi, penyelenggaraan pemerintah secara dekonsentrasi pada urusan pemerintahannya dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Tugas pembantuan merupakan penyertaan tugas-tugas atau program-program Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat I yang diberikan untuk turut dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dimana pelaksanaannya dapat tercermin dari adanya konstribusi Pusat atau Propinsi dalam hal pembiayaan pembangunan, maka besarnya konstribusi tersebut dapat digunakan untuk mengukur besarnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistik
Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Menurut Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa.
Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan didanai dari APBN. Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh gubernur, sedangkan Kegiatan Tugas Pembantuan di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh gubernur, bupati, atau walikota.          
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Pemeriksaan atas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan oleh BPK dan dan pemeriksaan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

Minggu, 08 Januari 2012

STRESS KERJA


Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini, diantaranya adalah:
1.      Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengn produktifitas kerja karyawan.
2.      Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi, stres juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya.
3.      Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif.
4.      Banyak di antara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah.
5.      Dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia semakin sibuk. Di satu pihak, peralatan kerja semakin modern dan efisien, dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin bertambah. Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi pegawai yang lebih besar dari yang sudah-sudah. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa.
(Nimran, 1999:79-80)

Stephen P. Robbins mengemukakan bahwa “Stres adalah kondisi dinamik yang di dalamnya individu mengalami peluang, kendala (constraints), atau tuntutan (demands) yang terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.” (Robbins, 2006:793)

Hans Selye, M.D. memberikan definisi tentang stres sebagai berikut: ”Stres adalah tanggapan yang menyeluruh dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang datang atasnya” (Hardjana, 1994:23). Orang yang sedang mengalami stres secara psikologis menderita tekanan dan ketegangan yang membuat pola berpikir, emosi, dan perilakunya kacau. Dia menjadi gugup dan gelisah (nervous). Secara psikologis, kegugupan dan kegelisahan itu menggejala pada denyut jantung yang cepat, perut terkocok-mual, mulut kering dari air liur, keringat yang mengucur di sekujur tubuh.

Tuntutan kerja dapat menjadi sumber stres, yaitu beban kerja terlalu besar dan berat. Hal ini karena jumlahnya. Misalnya harus menyelesaikan pekerjaan yang banyak dalam waktu terbatas. Atau karena sifat kerja itu sendiri, dimana pekerjaan tersebut membutuhkan banyak tenaga dan pikiran. Hubungan antar manusia ditempat kerja jelas merupakan sumber stres karena hubungan dengan atasan, rekan sekerja dan bawahan tidak selalu baik dan serasi. Hal ini bisa disebabkan karena unsur persaingan atau tindakan yang sengaja mau menjatuhkan.

Sebenarnya, pengertian stres dengan stres kerja itu hampir sama, hanya saja ruang lingkup untuk pengertian stres jauh lebih luas, karena bisa terjadi dan disebabkan oleh lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja, sedangkan stres kerja hanya terjadi di lingkungan kerja (Gibson, 1991:339).

Yoder dan Staudohar mengemukakan bahwa ”Job stress refers to a physical or psychological deviation from the normal human state that is caused by stimuli in the work environment.” (Yoder dan Staudohar, 1982:308). Hal ini berarti merupakan suatu tekanan akibat bekerja juga akan mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi fisik seseorang, di mana tekanan itu berasal dari lingkungan pekerjaan tempat individu tersebut berada.

Kondisi seseorang dalam bekerja, baik dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan sering menyebabkan seseorang menjadi stres. Stres yang terlalu besar dapat menurunkan prestasi kerja seseorang karena orang tersebut menjadi kehilangan kemampuan untuk mengendalikan sesuatu, tidak mampu mengambil keputusan dan perilaku yang ditimbulkan menjadi tidak teratur. Kondisi kerja seseorang dipengaruhi dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan. Kondisi-kondisi kerja yang berasal dari dalam perusahaan adalah:
1.      Beban kerja yang berlebihan
2.      Tekanan atau desakan waktu
3.      Kualitas supervisi yang jelek
4.      Iklim politis yang tidak aman
5.      Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai
6.      Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab
7.      Kemenduan atau ketidakjelasan peranan (role ambiguity)
8.      Frustasi
9.      Konflik antar pribadi dan antar kelompok
10.  Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan
11.  Berbagai bentuk perubahan

Sedangkan untuk kondisi-kondisi kerja yang berasal dari luar perusahaan adalah:
1.      Kekuatiran finansial
2.      Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak
3.      Masalah-masalah perkawinan (misalnya perceraian)
4.      Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara
(Handoko, 1993:200-201)
Stres yang optimal, berperan dan berdampak positif serta konsturktif bagi kita. Stres yang baik disebut eustress. Sebaliknya ada stres yang merugikan dan merusak bagi kita, yaitu distress. Stres menjadi eustress atau distress, dipengaruhi oleh penilaian dan daya tahan kita terhadap hal, peristiwa, orang, dan keadaan yang potensial atau netral.

Bila berbicara stres dalam organisasi publik, terkadang tingkat stres yang diakibatkan oleh beban pekerjaan ataupun beban masalah-masalah individu, dapat menimbulkan produktivitas kerja yang menurun. Ciri-ciri bebanan kerja pada individu ini dapat terlihat dengan orang tersebut menjadi pemurung, tidak enerjik, menjadi malas bekerja dan lain sebagainya. Reaksi dari seseorang berlebihan dari tekanan yang sangat tinggi yang dibebankan pada seseorang melebihi kemampuan yang dapat orang tersebut perbuat, adanya halangan ataupun kurangnya kesempatan.

Fungsi stress bagi pekerja adalah memberikan dampak positif terhadap penampilan kerja. Bagaimana stres yang berpotensi menjadi stres yang berlebih; yaitu ketika ketidaksenangan dengan nilai akhir misalnya karena tidak adanya pernghargaan dan gaji yang didapat kurang ataupun terlalu terobsesi dengan hasil sehingga melupakan proses pekerjaan itu sendiri.

Davis dan Newstrom menyebutkan adanya beberapa karakteristik pekerjaan dan lingkungan kerja yang mengandung situasi stres antara lain adalah:
1.      Tugas/beban kerja yang terlalu banyak.
2.      Supervisor/pimpinan yang kurang pandai.
3.      Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan.
4.      Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai.
5.      Ambiguitas peran.
6.      Perbedaan nilai dengan perusahaan.
7.      Frustasi.
8.      Perubahan tipe pekerjaan.
9.      Konflik peran.
(Davis dan Newstrom, 1993:375)

Lebih lanjut, Robbins mengemukakan bahwa terdapat 3 kategori umum gejala stres, yaitu:
1.      Gejala fisiologis
2.      Gejala psikologis
3.      Gejala perilaku.
(Robbins, 2006:800-801)

Apabila stres kerja ini dapat ditanggulangi secara adaptif dan efektif, maka akan menunjang kinerja pegawai di suatu organisasi sehingga pegawai dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Sabtu, 07 Januari 2012

Komitmen Organisasi


Komitmen adalah kuatnya pengenalan dan keterlibatan seseorang dalam organisasi tertentu. Kecenderungan untuk terkait dalam garis kegiatan yang konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan yang lain (berhenti bekerja). Proses pada individu (pegawai) dalam mengindentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Komitmen organisasi sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, komitmen organisasi menyiratkan hubungan pegawai dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena pegawai yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberi tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja.
Komitmen organisasional adalah loyalitas karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi.
Matchis dan Jacson (2000) memberikan definisi:
“Organizational Commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization” (komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi). (Sopiah, 2008: 155)

Richard M. Steers (Sri Kuntjoro, 2002) mendefinisikan:

“komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan  tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.”

Mowday (1982) menyebut komitmen kerja sebagai istilah lain dari komitmen organisasional. Menurut dia, komitmen organisasinal merupakan dimensi perilaku yang dapat digunakan untuk menilai kecenderungan perilaku karyawan untuk dapat bertahan dalam organisasi. Komitmen organisasional ini merupakan bentuk identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi. Komitmen organisasional merupakan keinginan anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi pencapaian tujuan organisasi.
Dalam bukunya, Sopiah (2008: 155) menyebutkan:
“Komitmen organisasional menurut Lincoln mencakup kebanggaan anggota, kesetiaan anggota, dan kemauan anggota pada organisasi. Blau & Boal menyebutkan komitmen organisasional sebagai keberpihakan dan loyalitas karyawan karyawan terhadap organisasi dan tujuan organisasi. Robbins (1989) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu sikap yang merefleksikan perasaan suka atau tidak sukadr karyawan terhadap organisasi. Steers dan Porter (1983) mengatakan bahwa suatu bentuk komitmen yang muncul bukan hanya bersifat loyalitas yang pasif, tetapi juga melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja yang memiliki tujuan memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan.”

Dari beberapa definisi diatas menyebutkan bahwa komitmen organisasi dapat menunjukkan sejauh mana hubungan antara anggota dengan organisasinya. Anggota organisasi yang memiliki komitmen organisasional terhadap organisasinya akan menunjukkan sikap loyalitasnya berupa kesediaan untuk bekerja dalam waktu yang lama dan mau bekerja semaksimal mungkin untuk kepentingan organisasinya.
“Secara konseptual, komitmen organisasional ditandai oleh tiga hal: (1) Adanya rasa percaya yang kuat dan penerimaan seseorang terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi (2) Adanya keinginan seseorang untuk melakukan usaha secara sungguh-sungguh demi organisasi (3) Adanya hasrat yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Hunt and Morgan (1994) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi bila: (1) memiliki kepercayaan dan menerima tujuan dan nilai organisasi (2) Berkeinginan untuk berusaha ke arah pencapaian tujuan organisasi, dan (3) Memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan sebagai anggota organisasi. Steers an Black (1994) memiliki pendapat yang hampir senada. Dia mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasional yang tinggi bisa dilihat dari ciri-cirinya sebagai berikut: (a) Adanya kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai dan tujuan organisasi, (b) Adanya kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi organisasi, dan (c) Keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi.” (Sopiah, 2008:156-157)

Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa komimen organisasi erat kaitannya dengan kepercayaan anggota terhadap nilai-nilai organisasinya, loyalitas atau kemauan untuk mengusahakan kepentingan organisasinya, dan keinginan untuk dapat mempertahankan keanggotaan dalam organisasinya.
Neal & Noertheraft (1990) mengatakan “komitmen tidak sekedar keanggotaan karena komitmen meliputi sikap individu dengan mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien” (Sopiah, 2008:156). Dengan kata lain, dengan adanya komitmen maka anggota organisasi akan bekerja semaksimal mungkin dalam menjalankan tugasnya sehingga akan berpengaruh positif terhadap hasil kinerjanya. Hal ini baik karena akan berpengaruh juga terhadap pencapaian output dan outcome yang diharapkan.
Minner (dalam Sopiah, 2008) menjelaskan bahwa proses terjadinya komitmen organisasi itu berbeda. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Fase initial commitment, yaitu adanya faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada tahap ini adalah:
a.         Karakteristik individu
b.        Harapan-harapan pada organisasi
c.         Karakteristik pekerjaan
2.    Fase commitment during early employment yang terjadi pada karyawan yang telah bekerja selama beberapa tahun. Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada tahap ini diantaranya:
a.         Pengalaman kerja yang dirasakan pada tahap awal bekerja
b.        Bagaimana pekerjaannya
c.         Bagaimana sistem penggajiannya
d.        Bagaimana gaya supervisinya
e.         Bagaimana hubungan dia dengan rekan kerjanya ataupun hubungan dia dengan pimpinannya.
Semua faktor diatas akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan pada organisasi yang pada akhirnya akan menghasilkan komitmen karyawan pada awal memasuki dunia kerja.
3.    Fase commitment during later career. Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada tahap ini berkaitan dengan:
a.         Investasi
b.        Modal kerja
c.         Hubungan sosial yang tercipta di organisasi
d.        Pengalaman selama bekerja.
Faktor diatas akan berpengaruh pada kelangsungan keanggotaan seseorang atau karyawan dalam organisasinya.

Spector mengutip pendapat Meyer, Allen, dan Smith yang menyebutkan bahwa terdapat tiga komponen komitmen organisasional, yaitu:
1.    Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional.
2.    Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain.
3.    Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan. (Sopiah: 2008:157)

Kanter (1986) juga mengemukakan adanya tiga bentuk komitmen organisasional, yaitu:
1.    Komitmen berkesinambungan (continuance commitment), yaitu komitmen yang berhubungan dengan dedikasi anggota dalam melangsungkan kehidupan organisasi dan menghasilkan orang yang mau berkorban dan berinvestasi pada organisasi.
2.    Komitmen terpadu (cohesion commitment), yaitu komitmen anggota terhadap organisasi sebagai akibat adanya hubungan sosial dengan anggota lain dalam organisasi. Ini terjadi karena karyawan percaya bahwa norma-norma yang dianut organisasi merupakan norma-norma yang bermanfaat.
3.    Komitmen terkontrol (control commitment), yaitu komitmen anggota organisasi yang memberikan perilaku ke arah yang diinginkannya. Norma-norma yang dimiliki organisasi sesuai dan sesuai dan mampu memberikan sumbangan terhadap perilaku yang diinginkannya. (Sopiah: 2008:158)

Dari dua pendapat diatas, baik Spector maupun Kanter tampaknya memiliki pendapat yang sama dalam pengelompokan bentuk komitmen organisasi. Perbedaanya terletak pada penggunaan istilahnya saja.
Beberapa dimensi komitmen organisasi menurut Porter, Mowday dan Steers dalam Kuntjoro (2002) yang disebut sebagai dimensi pendekatan sikap dan kehendak untuk bertingkah laku. Dimensi ini digunakan sebagai ukuran untuk menilai komitmen organisasi. Dimensi sikap (Attitudinal commitment), meliputi :
1.    Identifikasi (identification)
     Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Identifikasi pegawai tampak melalui sikap menyetujui kebijasanaan organisasi, kesamaan nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai organisasi, rasa kebanggaan menjadi bagian dari bagian organisasi. Identifikasi yang mewujud dalam bentuk kepercayaan pegawai terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisai, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para pegawai ataupun dengan kata lain organisasi memasukkan pula kebutuhan dan keinginan pegawai dalam tujuan organisasinya. Hal ini akan membuahkan suasana saling mendukung diantara pegawai dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa pegawai dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena pegawai menerima tujuan organisasi yang dipercaya telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula.
2.    Keterlibatan (involvement)
     Keterlibatan sesuai peran dan tanggungjawab pekerjaan di organisasi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua tugas dan tanggungjawab pekerjaan yang diberikan kepadanya. Keterlibatan atau partisipasi pegawai dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan pegawai menyebabkan pegawai akan mau dan senang berkerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan pegawai adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada pegawai bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, pegawai merasakan bahwa mereka diterima sebagai bagian yang utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melakasanakan bersama apa yang telah diputuskan karena adanya rasa keterikatan dengan apa yang mereka ciptakan.
3.    Loyalitas (loyalti)
     Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan keterikatan antara organisasi dengan pegawai. Pegawai dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap organisasi. Loyalitas pegawai terhadap organisasi memiliki makna ksediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Keadaan pegawai untuk mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen pegawai terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila pegawai merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja.